Ragam  

Pemda Parigi Moutong Usulkan Makam Tonikota jadi Cagar Budaya

Pemda Parigi Moutong Usulkan Makam Tonikota jadi Cagar Budaya
Kegiatan penetapan enam benda dan situs cagar budaya di Kabupaten Parigi Moutong, Sabtu, 18 Oktober 2025. (Foto: Dok Haliadi Sadi)

JURNAL LENTERA, PARIGI MOUTONG – Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Parigi Moutong, kembali mengusulkan enam benda dan situs cagar budaya di sejumlah tempat, yang tersebar di Kecamatan Parigi hingga Tinombo.

Penetapan tersebut melalui Sidang Penetapan Cagar Budaya Parigi Moutong, yang berlangsung di Parigi, Sabtu, 18 Oktober 2025.

Menurut salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi Sulawesi Tengah, Haliadi Sadi, enam cagar budaya yang dimaksud adalah makam Sheikh Yussuf Maliq Maulana Ibrahim atau Tonikota di Kelurahan Loji, makam yang diklaim sebagai makam Raja Tombolotutu, di Toribulu, satu senjata tajam berupa Guma di Parigimpuu, dan tiga bedil dari masa kolonial di Tinombo.

Pengusulan enam cagar budaya tersebut adalah inisiatif dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Parigi Moutong.

“Sebenarnya, saya secara pribadi masih menyangsikan soal makam yang di Toribulu itu. Sebab itu mestinya ditetapkan berdasarkan riset,” ujar Haliadi di Parigi.

BACA JUGA: Pemda Parigi Moutong Dorong UMKM Lewat Sertifikat Halal dan Promosi Bawang Goreng di Kecamatan Palasa

Enam cagar budaya yang telah melalui proses sidang penetapan tersebut, nantinya akan diusulkan kepada Bupati dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Lalu akan dilaporkan ke pusat konservasi cagar budaya nasional.

BACA JUGA: Dari KTP hingga Akta Lahir, Pemda Parigi Moutong Pastikan Warga Tak Lagi Kesulitan

Ia menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, sepanjang keterlibatannya menjadi Tim Ahli Cagar Budaya, Pemda Parigi Moutong sudah melakukan penetapan sedikitnya 18 cagar budaya.

Ditanya soal bagaimana jika Lapangan Toraranga dijadikan situs Cagar Budaya, Haliadi mengaku hal itu sangat memungkinkan. Karena itu, kata dia, perlu dilakukan riset terhadap kawasan atau benda yang nantinya bisa ditetapkan sebagai cagar budaya.

“Basisnya sebenarnya di riset. Itu langkah awalnya, supaya kita mengetahui betul sejarahnya yang lebih mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sekedar menginventarisasi saja,” jelas dosen Sejarah Universitas Tadulako ini.

Lebih jauh ia menjelaskan, proses sesuatu hingga ditetapkan sebagai cagar budaya, benda, situs bangunan atau kawasan, harus melalui riset. Hasil riset akan merekomendasikan kepada instansi terkait, dalam hal ini tim inventarisasi dinas kebudayaan. Dinas akan melakukan sidang, melibatkan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), untuk membuat rekomendasi menuju penetapan, oleh kepala daerah, baik Bupati atau Walikota, Gubernur atau Menteri, sesuai kategori dan keberadaan cagar budaya yang dimaksud.

“Yang lebih penting sebenarnya setelah ditetapkan, cakar budaya ini harus hidup, berdampak pada meningkatkan indeks pembangunan kebudayaan itu sendiri. Makanya, tempat atau benda-benda cagar budaya itu harus memberi nilai tambah. Salah satunya dengan cara mendekatkan cagar budaya dengan masyarakat,” jelasnya.

Ia menyebutkan, beberapa daerah yang mengelola situs cagar budaya dengan baik, mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) daerahnya, seperti di Kota Tua Jakarta, Benteng Rotterdam di Makassar, dan Benteng vredeburg di Yogyakarta.

Laporan : Sahril

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *