JURNAL LENTERA, PARIGI MOUTONG – Forum Penataan Ruang (FPR) Kabupaten Parigi Moutong menegaskan pentingnya kehati-hatian dan transparansi dalam proses penerbitan rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk kegiatan tambang rakyat.
Forum ini mengingatkan, bahwa rencana penerbitan izin tambang rakyat menyangkut banyak kepentingan, serta berpotensi tumpang tindih dengan lahan pertanian produktif maupun kawasan lindung.
Wakil Ketua FPR Parigi Moutong, Muhammad Najib, menyampaikan keputusan terkait pertambangan rakyat tidak dapat diambil secara terburu-buru.
“Persoalan ini terkait dengan hajat hidup orang banyak, jadi tidak bisa buru-buru diputuskan. Apalagi kejaksaan pun sudah mengingatkan, selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Muhammad Najib dalam rapat yang berlangsung di Kantor Bappelitbangda Parigi Moutong pada Senin, 29 Juli 2025.
BACA JUGA: Tumpang Tindih Antara WPR dan Kawasan Pertanian Berkelanjutan di Parigi Moutong
Ia lantas menyoroti bahwa meski pernyataan hukum yang dikeluarkan terkesan singkat, implementasinya di lapangan sangat kompleks. Salah satunya adalah potensi konflik dengan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) yang sebelumnya telah disampaikan oleh Dinas TPHP Parigi Moutong.
BACA JUGA: Antara Menjaga Hutan Lindung dan Upaya Pemda Parigi Moutong Melegalkan Pertambangan Rakyat
“Dinas TPHP juga sudah bereaksi soal LCP2B. Artinya, jika kegiatan tambang menyentuh lahan tersebut, otomatis bertentangan dengan ketentuan,” katanya.
Selain itu, ia juga menyoroti ketidakjelasan informasi terkait luas lahan dan pemilik blok tambang. Dari total 27 blok yang diusulkan oleh koperasi, belum ada pemetaan detail mengenai siapa yang memperoleh blok mana, berapa luasnya, serta apakah terdapat tumpang tindih dengan lahan lindung atau pertanian.
“Harus jelas, misalnya koperasi A dapat blok 1, berapa luasnya, koordinatnya di mana. Harus turun ke lapangan, karena ini mewakili 27 kepentingan yang tidak semuanya seimbang,” ungkapnya.
Masalah lainnya yang juga disorot oleh terkait penggunaan alat berat di lokasi tambang rakyat. Ia mengingatkan bahwa jumlah alat berat harus dibatasi dengan tegas agar tidak merusak lingkungan lebih dari manfaat ekonominya.
“Kalau pun boleh pakai alat berat, harus ditetapkan hanya satu unit. Tidak lebih dari yang dibutuhkan untuk eksplorasi terbatas,” imbuhnya.
Ia lantas meminta agar blok-blok tambang yang bersifat “bersyarat” dikaji lebih jauh, baik dari sisi efektivitas pengelolaan maupun potensi dampaknya. Jika manfaat ekonomi yang didapatkan tidak sebanding dengan risiko sosial dan ekologis, FPR menyarankan untuk tidak mengeluarkan rekomendasi.
Ia menegaskan, pentingnya transparansi dalam pelaporan hasil tambang. Ia kemudian mempertanyakan apakah pemerintah daerah benar-benar menerima informasi yang akurat, seperti hasil tambang emas yang disebutkan, misalnya 7 kilogram.
Sehingga, ia menekankan pentingnya kajian teknis yang rinci dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, ia juga meragukan kemampuan koperasi untuk mengganti lahan yang terdampak secara hukum dan finansial.
“Apa iya koperasi punya kekuatan mengganti lahan? Terus lahan pengganti itu di mana? Ini bukan cuma soal regulasi, tapi juga logika pelaksanaan di lapangan,” pungkasnya.
Dengan kompleksitas yang ada, FPR meminta agar seluruh tahapan pengajuan izin tambang rakyat di Kabupaten Parigi Moutong dilakukan secara terbuka, berbasis kajian teknis dan hukum yang ketat.
Selain itu, melibatkan lintas sektor. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat.
Laporan : Roy Lasakka Mardani










