JURNAL LENTERA, PALU – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dinilai menjadi ancaman baru terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal itu mengemuka dalam diskusi interaktif bertema “Tantangan Kecerdasan Buatan terhadap Kebebasan Pers” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Sabtu, 3 Mei 2025.
Praktisi jurnalisme, Yardin Hasan, yang juga Ketua AJI Palu periode 2021–2024, mengungkapkan AI memiliki dua sisi. Di satu sisi mampu membantu kerja-kerja jurnalistik, namun di sisi lain dapat digunakan sebagai alat pengawasan hingga sensor terhadap karya jurnalistik yang kritis.
“AI bisa dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan untuk memanipulasi fakta atau mengawasi jurnalis. Potensi itu sangat besar terjadi, termasuk di bawah rezim Prabowo-Gibran,” ujar Yardin yang juga merupakan pendiri Roemahkata.com.
Ia mencontohkan tindakan Prabowo yang tidak mengizinkan jurnalis meliput kegiatan Danantara beberapa waktu lalu sebagai indikasi ancaman terhadap transparansi informasi publik.
Yardin juga mengingatkan pentingnya etika dalam penggunaan AI oleh jurnalis. Menurutnya, AI seharusnya tidak digunakan untuk merekayasa fakta, baik dalam bentuk teks, suara, maupun visual.
BACA JUGA: Jurnalis Sulteng Turun ke Jalan, Tuntut Keadilan dan Kebebasan Pers
“Karya jurnalistik adalah bentuk tanggung jawab kepada publik. Kita tidak boleh menyalahgunakan teknologi demi sensasi atau kepentingan tertentu,” tegasnya.
Senada dengan itu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah (Sulteng), Muhammad Iqbal, menyoroti dampak AI terhadap dunia kerja media.
BACA JUGA: Kriminalisasi Jurnalis Beritamorut.id Dikecam, Organisasi Pers Desak Penegakan UU Pers
Ia menyebutkan bahwa banyak perusahaan media digital telah merumahkan karyawan dan menggantikan tugas mereka dengan teknologi AI karena alasan efisiensi.
“Media harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tapi penggunaan teknologi harus tetap dibarengi dengan prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab,” kata Iqbal yang akrab disapa Ballo.
Sementara itu, akademisi Universitas Tadulako, Dr. Stepanus Bo’do, menilai jurnalis tetap memiliki peran penting sebagai pencerita budaya di tengah kemajuan teknologi. Menurutnya, AI tidak akan mampu menggantikan jurnalis jika tidak ada manusia di balik analisis dan narasi yang kuat.
“AI justru bisa memperkuat kepercayaan publik jika jurnalis menggunakannya dengan bijak. Tapi kita juga harus sadar bahwa AI bisa menjadi alat sensor atau bahkan penyebar disinformasi jika tidak diatur,” jelas pakar komunikasi digital tersebut.
Stepanus mendorong adanya regulasi yang jelas dan etis terkait penggunaan AI dalam media. Ia juga menekankan pentingnya transparansi, termasuk pelabelan konten jika melibatkan bantuan AI dalam proses produksinya.
Diskusi tersebut merupakan bagian dari peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia dan diikuti sekitar 45 peserta yang terdiri dari jurnalis, mahasiswa, dan aktivis masyarakat sipil.
Sekretaris AJI Kota Palu, Aldrim Thalara, menyebut kegiatan ini digelar serentak di lebih dari 30 kota di Indonesia dengan tema serupa.
“Kami ingin mengedukasi publik agar mampu membedakan penggunaan AI yang membantu kerja jurnalistik dan yang justru menyesatkan informasi,” jelas Aldrim.
Menurut AJI, ancaman terhadap kebebasan pers kini tidak hanya berbentuk serangan fisik, tetapi juga serangan digital berbasis teknologi, termasuk AI yang digunakan tanpa tanggung jawab.
Sumber : Humas AJI Kota Palu
Respon (1)