JURNAL LENTERA – Wakil Ketua DPRD Parigi Moutong, Faisan, angkat bicara soal solusi dari warga tentang pembayaran ganti rugi tanah Land Consolidation (LC) yang berada di lokasi kantor bupati Parigi Moutong.
Menurutnya, jika masalah yang saat ini terjadi di lokasi LC hanya karena lahan warga yang di lokasi kantor bupati dipindahkan ke sejumlah blok di bagian timur kantor bupati, maka ia sependapat dengan solusi dari warga, yakni pemda melakukan upaya ganti rugi.
“Asal mereka dibayar, seperti yang terjadi dengan alun-alun. Tidak ada lagi pergeseran seperti sekarang. Bisa begitu solusinya. Kunci tegasnya di pemerintah. BPN tinggal memberikan data,” kata Faisal, Senin 8 November 2021 saat ditemui di kantornya.
Faial berpandangan, solusi itu tergantung pada pemerintah melalui instansi teknis terkait. Selaku legislatif, ia mendukung apa yang menjadi keputusan pemerintah, sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah di lokasi LC.
“Kalau saya tergantung keputusan pemerintah. Dalam hal ini kami sebagai DPRD, jika pemerintah usulkan seperti itu, tergantung data. Supaya tidak terjadi masalah di belakang hari. Kan semua urusan pembebasan lahan itu kan larinya ke DPRD,” tambahnya.
Ia pun mengapresiasi langkah yang diambil BPN yang nantinya akan melakukan ekspos kasus yang terjadi di lokasi LC.
“Dari situ kan akan kelihatan. Siapa sebenarnya yang pastinya, tujuh orang yang punya lokasi di kantor bupati. Kalau memang cuman itu, berarti yang lain tidak ada masalah. Bisa dibayarkan, kalau tidak ini akan berlarut-larut,” tambahnya.
Faisal menilai, karena berlarut-larutnya masalah LC, sehingga perlu upaya serius untuk segera menyelesaikannya.
Sebelumnya diberitakan, atas berlarut-larutnya masalah LC, masyarakat menjadi kurang yakin soal titik terang status tanah mereka.
Padahal proyek tersebut seperti diketahui, dimulakan setahun setelah Kabupaten Parigi Moutong berdiri sebagai daerah otonom, pisah dari induknya Kabupaten Donggala pada 2002.
“Kalau Pemda ada kemauan, ini bisa selesai. Setengah hati ‘dorang’. Macam lalu, penggusuran. Dikeluarkan lagi ratusan juta. Lebih baik dikumpul saja uangnya, (untuk dibayarkan ganti rugi),” jelas Kamaludin kepada Jurnal Lentera, Jumat (5/11/21). Ia merupakan warga yang tanahnya masuk dalam lokasi LC.
Meskipun di satu sisi Kamaludin berharap akan ada titik terang atas keberadaan tanahnya di lokasi LC, namun melihat upaya Pemda saat ini ia masih belum yakin.
“Kalau perpindahan begini, tiada mo tuntas kalau begini. Dia harus kembali ke tanah masing-masing. Barangkali bagaimana solusinya, harus kembali ke tanah masing-masing. Karena banyak orang prinsipnya, lebih baik saya mati di tanah sendiri daripada di tanahnya orang,” jelas Kamaludin saat ditemui di kediamannya.
Senada dengan Kamaludin, Muzakir, warga Kampal yang tanahnya juga masuk dalam lokasi LC, mengatakan akan lebih baik jika pemerintah melakukan upaya ganti rugi terhadap tanah di lokasi kantor bupati. Sebab kata dia, tanah di lokasi tersebut yang dipindahkan ke bagian lain, yang saat ini masih bermasalah.
“Orang kan rata-rata tidak mau bergeser, jadi baku tahan saja daripada baku pindah. Padahal kalau diganti rugi tanah yang di kantor bupati? kenapa susah sekali le,” kata Muzakir.
Ia mengaku sudah menyarankan ide untuk memiih ganti rugi bagi tanah di lokasi kantor bupati. Namun tidak ditanggapi.
“Pemilik tanah di kantor bupati 14 orang. 7 orang diganti rugi karena tanahnya dipindah di alun-alun. Yang sisinya 7 orang dipindahkan ke lokasi belakang kantor bupati, yang membuat kerancuhan. Kenapa mereka tidak diganti rugi. Alasan mereka berbenturan dengan undang-undang,” jelasnya.
Alasan pemerintah menurut Muzakir, sesuai dengan keterangan yang ia terima dari pihak pemda terkait kenapa Pemda tidak bersedia menggantirugi, karena lokasi kantor bupati merupakan aset pemda.
“Terus, cara pemda mendapatkan aset itu bagaimana?” katanya.
BERITA TERKAIT: Babak Baru Perkembangan Tanah LC Kampal
BERITA TERKAIT: Proyek LC Kampal, Masyarakat Jenuh dan Desak Pemerintah Segera Tuntaskan
Laporan: M. Sahril