JURNAL LENTERA – Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Tim Penyidik Kejaksaan Agung yang mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat atas Peristiwa Paniai, Papua memeriksa mantan Panglima TNI Moeldoko.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan Tim penyidik harus memeriksa Panglima TNI, Kapolri, Polda Papua, dan Kodam XVII/Cenderawasih yang diduga terlibat dalam peristiwa Paniai 2-8 Desember 2014 lalu. Sebab, dalam Pasal 42 UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM diatur mengenai tanggung jawab rantai komando.
“Patut digaris bawahi bahwa Peristiwa Paniai ini terjadi di bawah masa Panglima TNI Moeldoko. Namun, Presiden Jokowi justru mengangkat Moeldoko menjadi Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sejak 17 Januari 2018,” kata Fatia dalam keterangan resmi, Senin (6/12).
Fatia menyatakan pihaknya menyoroti beberapa hal terkait penyidikan dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai oleh Kejaksaan Agung.
Diketahui, Jaksa Agung ST. Burhanuddin sebagai Penyidik Pelanggaran HAM Berat telah menandatangani Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Yang Berat di Paniai, Papua Tahun 2014.
Keputusan tersebut juga berdasar pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: : Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 3 Desember 2021. Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai terdiri dari 22 Jaksa Senior. Mereka diketuai jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Tim ini dibentuk dengan memperhatikan Surat Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021 yang menanggapi pengembalian berkas perkara hasil penyelidikan dugaan pelanggaran HAM di Paniai
“Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM disimpulkan anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab,” kata Fatia.
Fatia menyebut akibat tindakan anggota TNI, 11 orang dalam peristiwa Paniai menjadi korban penganiayaan, 4 orang tewas, dan 10 orang luka-luka. Komnas HAM juga mencatat dalam peristiwa itu telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak, perempuan, dan hak atas rasa aman dan hidup.
Selain mendesak Moeldoko diperiksa, KontraS juga mendesak Tim Penyidik bekerja secara profesional, transparan, independen dan mempercepat pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban Peristiwa Paniai.
Mereka meminta agar Tim Penyidik juga melibatkan unsur masyarakat sipil yang terbukti bekerja dan memiliki kepedulian terhadap HAM agar independensi terjaga.
“Pasalnya, Peristiwa Paniai yang terjadi 7 – 8 Desember 2014 ini banyak melibatkan aparat gabungan TNI/POLRI,” tutur Fatia.
Fatia juga mendesak Kejaksaan Agung membuat laporan berkala dan terbuka mengenai kegiatan Tim Penyidik agar kerja mereka transparan dan akuntabel. Tim Penyidik juga didesak agar melibatkan partisipasi korban dalam pencarian alat bukti.
Selain itu, Fatia juga mendesak Kejaksaan Agung tidak hanya menyidik Peristiwa Paniai, melainkan penyidikan kasus Wasior-Wamena dan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dan daerah lain. Fatia menyebut Kejaksaan Agung memiliki wewenang lebih kuat untuk melengkapi kekurangan hasil berkas penyelidikan Komnas HAM.
“Tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk terus menerus mengembalikan berkas laporan kepada Komnas HAM,” kata Fatia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua telah naik ke tingkat penyidikan. Mahfud juga menyatakan kasus tersebut bakal diproses sesuai undang-undang yang berlaku.
“Seperti telah diumumkan oleh Jaksa Agung, pada saat ini kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang disampaikan oleh Komnas Ham kepada pemerintah di Paniai, Papua, oleh Jaksa Agung sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan dengan menunjuk 22 jaksa. Jadi ini nanti akan proses sesuai undang-undang yang berlaku,” kata Mahfud seperti dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam, Minggu (5/11).
Artikel ini pertama kali tayang di CNNIndonesia