Kasus HIV/AIDS di Parigi Moutong Bertambah, Ternyata Ini Pemicunya

JURNAL LENTERA – Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tercatat ketambahan sebanyak tujuh kasus HIV/AIDS atau dalam bahasa latinnya disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome pada awal 2021.

“Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 23 kasus. Sedangkan pada awal tahun 2021, per bulan Maret terjadi ketambahan kasus HIV/AIDS lagi sebanyak tujuh kasus. Sehingga total keseluruhannya sebanyak 40 kasus,” sebut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Parigi Moutong, Wulandari, kepada JurnalLentera.com pada Senin, 24 Mei 2021.

Dia menjelaskan, kasus terbanyak penularan HIV/AIDS di Parigi Moutong terdapat pada populasi Waria akibat seks menyimpang yang memudahkan penularan virus tersebut.

Penularan HIV/AIDS dari populasi Waria ini, kata dia, tertinggi di Kecamatan Ampibabo.

Berbeda pada 2020 lalu, penularan HIV/AIDS terdapat pada seorang ibu rumah tangga, pengguna narkoba, dan pasien berusia produktif, mulai dari usia 15 tahun keatas yang disebabkan aktifitas seks bebas.

“Pasien HIV/AIDS yang telah terdeteksi diberikan penanganan, mulai dari memantau kesehatannya dengan memberikan hingga memastikan obat yang diberikan diminum secara rutin, agar imun tubuh pasien tetap stabil,” katanya.

Wulandari, menambahkan Dinkes Parigi Moutong melalui Bidang Promosi Kesehatan di Puskesmas juga gencar mensosialisasikan pencegahan penularan HIV/AIDS kepada masyarakat.

Tujuannya, menekan angka penularan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tidak melakukan seks bebas.

Bahkan, pihaknya dibantu 26 konselor yang dilantik beberapa waktu lalu.

Mereka, kata dia, berasal dari Puskesmas itu sendiri, dan dua orang pasangan suami istri penderitaan HIV/AIDS yang berasal dari Kecamatan Mepanga.

“Tahun 2020 lalu, target capaian kami di tingkat berada pada peringkat ke delapan,” akunya.

Wulandari, mengaku untuk mendeteksi penderita HIV/AIDS masih sangat sulit, karena pasien yang menjalani tes pemeriksaan virus tersebut harus melakukannya sendiri tanpa tekanan dari tenaga kesehatan atau pihak Puskesmas, dan juga stigma masyarakat.

“Tapi secara rutin kami melakukan pemeriksaan di delapan populasi yang telah ditentukan. Diantaranya, warga binaan Lapas, Waria dan ibu hamil,” tandasnya.

Laporan : Roy Lasakka

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *