JURNAL LENTERA – Amerika Serikat dan sekutunya mulai membuka kembali pembicaraan nuklir dengan Iran pada Senin (29/11).
Walaupun demikian, AS dan Uni Eropa skeptis terhadap respons pemerintahan baru Iran terkait negosiasi ini.
Gedung Putih bahkan tengah mempersiapkan opsi lain seandainya cara diplomasi ini gagal membujuk Iran kembali mematuhi larangan pengembangan senjata nuklir.
Rencananya, Amerika Serikat dan Iran akan bertemu di Wina, Austria, untuk membahas kembalinya Washington ke dalam kesepakatan nuklir JCPOA ini.
Beberapa negara lain yang juga akan datang ke pertemuan tersebut adalah Jerman, Inggris, Prancis, China, dan Rusia.
Sementara itu, beberapa pejabat AS telah mewanti-wanti jika Iran terus mengembangkan program nuklir dan pengayaan uraniumnya, kegiatan ini dapat mengancam kesepakatan JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama), dan memaksa AS untuk melakukan opsi lain.
“Kami masih berharap bahwa diplomasi bisa memberikan jalan (penyelesaian). Namun jika (diplomasi) tidak memberikan jalan, kami siap menggunakan opsi lain,” kata Koordinator Dewan Keamanan Nasional AS untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Brett McGurk, dikutip dari CNN.
“Tidak ada pertanyaan, kami tidak akan membiarkan Iran mendapatkan senjata nuklir, titik,” tambah McGurk.
Utusan Khusus AS untuk Iran Rob Malley mengatakan dalam sebuah tweet bahwa kini Iran memiliki dua opsi.
“Melanjutkan pengembangan nuklir dan krisis, atau melakukan hubungan timbal balik ke JCPOA, menciptakan kesempatan untuk ekonomi regional dan hubungan diplomatik. Hanya ada sedikit waktu untuk memilih,” kata Malley.
Sebelumnya, Direktur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi sempat pergi ke Teheran pekan lalu. Namun, Grossi melaporkan kepada dewan IAEA kalau pembicaraan yang terjadi “tidak meyakinkan”.
Salah satu penyebabnya, Iran menolak menerima pengawasan dari IAEA ke fasilitas produksi sentrifugal Karaj, yang disebut telah kembali beroperasi.
Asosiasi Kontrol Senjata (ACA) menilai penolak Iran akan pemasangan kamera baru oleh IAEA atau mengonfirmasi produksi masih belum dimulai dapat merusak upaya pengembalian kesepakatan JCPOA. Tidak diberikannya akses kepada Karaj juga menimbulkan spekulasi terkait apa yang kini dilakukan Iran, tambah ACA.
Sejak Presiden Joe Biden menjabat, AS dan Iran sudah melangsungkan dialog secara tak langsung dengan bantuan sekutu negara Eropa di Wina demi mencoba menghidupkan kembali JCPOA.
Menurut Biden, perjanjian JCPOA efektif membuat Iran patuh menangguhkan program nuklirnya, sampai akhirnya Trump menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut.
Perjanjian yang diteken oleh negara anggota tetap DK PBB beserta Jerman itu mewajibkan Iran membatasi pengayaan uranium hingga 3,67 persen, jauh dari keperluan mengembangkan senjata nuklir yaitu 90 persen.
Sebagai timbal balik, negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran. Namun setelah menarik diri, AS kembali menerapkan sanksi yang membuat Iran geram.
Setelah itu, Iran terus menggencarkan program pengayaan uranium. Pada awal November lalu, Iran mengklaim berhasil mencapai lebih dari 210 kilogram pengayaan dari 20 persen uranium.
Artikel ini pertama kali tayang di CNNIndonesia