KKJ Sebut Banyak Pasal Bermasalah dalam Draf RKUHP

Mahasiswa memegang poster saat aksi Bandung Lautan Amarah di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). RKUHP saat ini juga dinilai akan mengancam kebebasan pers. (ilustrasi). (Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

JURNAL LENTERA, JAKARTA – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak keterbukaan informasi publik (KIP) terhadap draf dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ini karena sejak pembahasan draf RKUHP itu tidak pernah dibuka pemerintah hingga diserahkan kepada DPR.

Karena itu, KKJ mengajukan surat permohonan keterbukaan informasi publik (KIP) terhadap draf RKUHP tersebut kepada DPR.

“Ketika pemerintah tidak memberi pernyataan terkait draf tersebut, kami mengajukan permohonan kepada DPR agar DPR memberikan secara resmi draf itu sehingga sehingga kami punya ruang untuk berpartisipasi kembali mengkritik dan memberi masukan,” ujar perwakilan KKJ Zaky Yamani dari Amnesty International indonesia dalam jumpa pers virtual, Senin, 18 Juli 2022.

Zaky menjelaskan, draf RKUHP yang beredar di publik saat ini bukanlah resmi dari Pemerintah maupun DPR.

Sehingga, koalisi masyarakat sipil khawatir jika draf RKUHP yang beredar bukan yang diserahkan pemerintah ke DPR.

“Mudah-mudahan DPR mau dan menjawab permohonan kami sehingga kami dari masyarakat sipil bisa berpartisipasi  lagi dalam memberikan kritik dan masukan terhadap RKUHP,” ujar Zaky.

Zaky juga meminta agar DPR dan Pemerintah tidak menutup ruang dengan mengatakan pembahasan RKUHP sudah final.

Dia menegaskan, masih banyak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP berdasarkan draf yang beredar di publik tersebut.

“Walaupun pemerintah mengatakan hanya ada 14 isu yang dianggap bermasalah, pada kenyataannya masyarakat sipil punya banyak isu lebih dari pada itu. Jadi sekali lagi kepada DPR, buka lagi ruang partisipasi publik dan diawali dengan memberikan draf yang sahih,” ujarnya.

Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas Unggraini meminta DPR sebagai wakil rakyat harus lebih transparan dan mendengar aspirasi publik terhadap pasal-pasal bermasalah di RKUHP.

Ika mengatakan, sejak awal DPR tidak menjalankan perannya sebagai pengawas eksekutif yakni pemerintah.

BACA JUGA: RKUHP Jadi Ancaman Bagi Kebebasan Pers

“DPR justru kita melihatnya seiya dan sekata dengan kepentingan eksekutif. Jangan sampai dengan berbagai indikator di atas kita justru melihat RKUHP digunakan sebagai alat kekuasaan termasuk elite politisi untuk membungkam pers dan masyarakat sipil yang kritis,” ujarnya.

Ika mengatakan, pasal-pasal bermasalah tersebut sebetulnya sudah pernah dikritisi pada pembahasan 2019 lalu, tetapi masih dipertahankan di draft RKUHP yang beredar tersebut.

“Yang kita liat pasal-pasal anti demokrasi warisan kolonial, masih muncul di RKUHP yang baru, setidaknya kita liat dari draf yang beredar 4 Juli berdampak serius terhadap pers, ini akan membawa potensi banyak jurnalis ke jeruji besi,” ujar Ika dalam jumpa pers secara virtual, Senin.

Ika mengatakan, sejumlah pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, tindak pidana kekuasaan umum dan lembaga negara, tindak pidana berita bohong dan tidak pasti secara langsung berkaitan dengan kerja-kerja jurnalis.

Dia menjelaskan, ketika jurnalis melakukan kritik kepada presiden dan wakil presiden bahkan level pemerintah daerah sekalipun menjadi celah mudah bagi pihak yang dikritik untuk mempidanakan jurnalis melalui pasal ini.

Selain itu, pasal ini juga sudah dinyatakan inkonstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 lalu, tetapi kemudian dihidupkan kembali oleh Pemerintah.

“Tidak menutup kemungkinan kalau kemudian RKUHP ini disahkan, akan semakin banyak jurnalis-jurnalis yang divonis pidana,” kata Ika.

Kedua, lanjut Ika, pasal bermasalah lainnya adalah pasal 263 tentang berita bohong yang rawan disalahgunakan pihak tertentu, tidak terkecuali instansi pemerintah seperti Polri.

Berdasarkan catatan AJI, selama dua tahun terakhir, banyak karya jurnalistik yang sudah melalui prosedur verifikasi ketat dengan mudah dilabeli hoaks oleh institusi Polri.

“Jadi bayangkan jika pasal ini kemudian masuk dalam RKUHP, besok-besok akan semakin banyak berita yang bermuatan kritik terhadap penyelenggaraan negara kemudian ini semakin mudah dilabeli hoaks lalu diseret dengan pasal 263,” kata Ika.

Ketiga, pasal 264 tentang tindak pidana bagi berita yang tidak lengkap turut mengancam kerja jurnalis.

Ika menilai, pasal ini akan mudah digunakan bagi produk jurnalistik dengan kondisi tertentu seperti Breaking News yang memaksa harus cepat dan diperbarui setiap waktu atau kendala akses internet.

Kondisi ini kata Ika, menjadikan produk jurnalistik tersebut belum lengkap. Namun demikian, pasal 264 ini kemudian membuat berita yang dianggap tidak lengkap atau belum mendapat data yang utuh di lapangan mudah dijerat pidana dengan pasal ini.

Padahal kata Ika, ketentuan mengenai keberimbangan atau cover both sides sudah ada dalam Undang-undang Pers, termasuk mekanisme hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers.

BACA JUGA: Kasus ACT Naik ke Penyidikan di Mabes Polri

“Ini menunjukkan logika dalam pasal ini kaca seolah-olah generalisasi bahwa berita yang tidak lengkap itu sebagai informasi palsu. Ini juga bukti ketidakpahaman perumusan pasal-pasal RKUHP ini terhadap kerja-kerja jurnalistik,” kata Ika.

Kemudian, pasal yang tidak kalah mengkhawatirkannya bagi insan pers adalah pasal 598, 599 dan 600 yang mengatur tentang tindak pidana penerbitan dan percetakan.

Dia menilai pasal-pasal ini sengaja dimasukkan agar membuat pers menjadi delik umum, tidak lagi sebagai lex specialis.

“Melihat pasal-pasal ini tentang RKUHP memang sengaja memasukkan pers sebagai delik umum bukan lagi sebagai lex specialis yang telah diatur oleh undang-undang Pers,” kata dia.

Artikel ini telah tayang sebelumnya di Republika.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *