JURNAL LENTERA – Jumlah penduduk miskin di daerah Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali meningkat periode Maret-September 2020. Pandemi Covid-19 disebut jadi penyebab peningkatan angka garis kemiskinan.
Seperti dilansir dari KabarSelebes.id pada Selasa, 16 Februari 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng mencatat, dari Maret hingga September 2020 jumlah penduduk miskin mencapai 403,74 ribu atau 13,06 persen. Angka ini bertambah sebesar 5 ribu orang dibandingkan bulan Maret 2020 sebanyak 398,73 ribu.
Secara rinci penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2020 sebanyak 80,7 ribu menjadi 87,4 ribu atau naik sebanyak 6,7 ribu orang pada September 2020.
Sementara, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2020 sebesar 14,69 persen naik menjadi 14,76 persen pada September 2020.
“Memang di Sulawesi Tengah jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih dominan,” kata Kepala BPS Sulteng, Dumangar Hutauruk memberi keterangan virtual, Senin 15 Februari.
Dumangar menuturkan secara umum pada periode Maret 2013-September 2019 tingkat kemiskinan mengalami penurunan baik dari sisi jumlah maupun persentasenya.
Namun, sejak 2015 tingkat kemiskinan tersebut menunjukkan fluktuasi yang cenderung meningkat hingga 2017 sebelum akhirnya kembali menunjukkan tren penurunan hingga 2019.
“Ya kita tahu selama tahun 2020 covid-19 sangat mempengaruhi untuk tingkat lapangan kerja,” ujarnya.
Ia pun menyebut peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Sumbangan makanan terhadap garis kemiskinan pada September 2020 tercatat sebesar 76,56 persen. Kondisi ini meningkat dibanding Maret 2020 yaitu sebesar 76,54 persen.
Jenis komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan adalah beras sebesar 21,24 persen dan 23,29 persen di daerah pedesaan.
Selanjutnya disusul rokok kretek filter sebesar 12,97 persen di daerah perkotaan dan 16,58 persen di daerah pedesaan.
Selain itu komoditi makanan lainnya yang berpengaruh terhadap nilai garis kemiskinan yakni kue basah, tongkol, tuna, cakalang, dan telur ayam ras.
“Kalau diperhatikan di Sulawesi, Sulawesi Tengah termasuk paling tertinggi untuk garis kemiskinan,” kata Dumangar.
Di sisi lain beberapa faktor yang terkait dengan meningkatnya angka kemiskinan selama periode Maret – September 2020 ialah Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan September 2020 turun sebesar 2,13 persen menjadi 94,59 dari 96,72 pada Maret 2020.
Disusul laju inflasi Maret 2020 – September 2020 turun sebesar 0,06 persen poin menjadi 0,92 dari 0,98 pada September 2019 – Maret 2020. Serta tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020 sebesar 2,98 persen mengalami peningkatan sebesar 0,79 persen menjadi 3,77 persen pada Februari 2020.
Untuk diketahui kemiskinan ialah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Merujuk pada pengertiannya penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Adapun metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari.
“Jadi itu masih konsep lama yang kita gunakan,” jelas Dumangar.
Sumber : KabarSelebes.id